(melotot) "APA?! Empat tahun suka sama pacar orang sampai sekarang belum pindah-pindah juga? Empat tahun?! Gila kamu, gila!" (geleng-geleng kepala)
(nyengir)
"Coba kalau kamu punya orang, empat tahun itu kedengaran menyenangkan."
(nyengir lagi) "Kamu pikir, pindah itu mudah?"
(mendengus sebal) "Mudah. Cuma kamu-nya yang nggak mau pindah."
"Kenapa harus pindah?
Saya masih betah."
(mengerutkan dahi) "Kenapa masih betah?" (menarik napas) "Dia bahkan nggak tahu kalau kamu betah."
"Kamu yang nggak tahu."
"Memang kamu tahu? Kamu sudah pernah bilang?" (menatap, sorot matanya penasaran) "Kalau kamu suka?"
"Nggak." (balas menatap, lalu tersenyum)
(kecewa) "Laaah. Terus?"
"Terus apaan? Nggak ada terus-terus."
"Ih." (cemberut) "Apa sih, yang bikin kamu bertahan?
Harapan?"
"Bukan." (diam, kelihatan berpikir, lalu melanjutkan) "Kalau saya masih punya harapan, sekarang pasti saya sudah jadi orang gila."
"Loh, kok gitu? Kenapa?
"Dia sudah punya orang lain yang disuka. Dia nggak bisa langsung suka ke saya kayak saya suka sama dia.
Itu, kalau saya pikirin terus, saya bakal stres. Jadi orang gila. Tambah kurus, deh." (mengangkat kedua bahu, tampak acuh)
(memutar bola mata) "Tapi kamu memang betulan gila jadinya."
(terkekeh)
(mendengus lagi) "Terus?"
(mengangkat alis, bertanya tanpa bicara)
"Kenapa sampai sekarang masih suka kalau kamu tahu dia nggak akan pernah suka kamu?
Bukannya malah...," (berhenti sejenak, tampak berpikir, kemudian melanjutkan) "bikin sakit hati?"
(mengangguk setuju) "Kadang."
"Terus?"
(menatap, roman wajahnya kelihatan bosan) "Kalau kamu bilang terus sekali lagi, saya pergi, deh."
"Lalu?"
(menahan tawa)
(tiba-tiba merasa geli, ikut menahan tawa) "Jangan ketawa! Jawab dulu kenapa."
"Hmmm... kenapa ya...." (menatap langit-langit, telunjuknya di dagu, sok berpikir)
(memandang sebal) "Jangan bawa-bawa soal `cinta nggak butuh alasan` ya. Basi. Anak baru lahir juga bisa bilang begitu."
(terkekeh lagi) "Nggak, nggak.
Saya punya alasan sendiri, kok."
"Bilang, dong."
(menarik napas) "Saya masih betah,
karena saya merasa seneng aja."
"`Seneng aja`?"
(mengangguk)
"Alasan macam apa itu." (menggaruk dahi) "Kamu suka sama orang yang sudah punya orang sampai empat tahun lamanya, sampai sekarang belum pindah karena masih merasa betah, tanpa satu pun harapan, kamu nggak tahu pula kalau dia tahu atau nggak... sisi sebelah mana yang bisa dibilang menyenangkan?"
"Kamu yang nggak tahu."
"Kamu yang aneh."
(nyengir lagi) "Tahu nggak?
Rasanya suka sama orang yang nggak bakal balik suka sama kita,
itu, kayak kamu hujan-hujanan tanpa takut dimarahi ibu,
kayak kamu teriak-teriak di atas atap tanpa peduli tetangga kamu terganggu,
kayak kamu lari-lari telanjang di jalanan tanpa khawatir dibilang `orang gila`,
kayak kamu terjun dari pesawat tanpa memikirkan rasa sakitnya,
kalau jatuh.
Karena kamu tahu rasanya bebas,
tanpa takut,
tanpa peduli,
tanpa khawatir,
tanpa memikirkan rasa sakitnya,
rasa sedihnya,
empat tahun lamanya.
Kalau sudah begitu, kamu jadi merasa seneng aja.
Bahagia.
Begitu."